20.5 C
Indonesia
Selasa, Oktober 14, 2025

Kasus Perundungan dan Kekerasan di SMKN 1 Kota Mojokerto, Sekolah Diduga Mengabaikan dan Intimidasi Korban

Mojokerto,Tribunpost.co  — Tindakan perundungan (bullying) disertai kekerasan fisik kembali mencoreng dunia pendidikan. Seorang siswi SMKN 1 Kota Mojokerto Bernama Tritasya Oktaviyani menjadi korban pemukulan oleh teman sekelasnya yang bernama Yurike Dwi A. pada Jumat, 22 Agustus 2025, saat jam pelajaran terakhir berlangsung di dalam kelas.

Berdasarkan keterangan korban, suasana kelas saat itu mulai lengang menjelang jam pulang. Tiba-tiba pelaku mendekati korban dan langsung memukulnya di hadapan sejumlah siswa. Sebelumnya, beberapa teman sekelas telah memperingatkan korban bahwa pelaku berencana melakukan kekerasan, lantaran kesal terhadap korban yang sering melerai aksi perundungan terhadap siswa lain.

Pelaku bahkan sempat mengajak kakak kelas untuk turut serta dalam rencana pemukulan tersebut, namun ajakan itu ditolak. Yurike Dwi A. dikenal sering membuat onar dan melakukan tindakan perundungan terhadap siswa lain. Dalam percakapan WhatsApp, pelaku juga mengakui keinginannya memukul korban dan menyatakan siap dikeluarkan dari sekolah.

Ironisnya, korban dan pelaku sebenarnya cukup akrab baik di kelas maupun di kantin, sehingga kejadian ini membuat korban terpukul secara emosional. Akibat tindak kekerasan tersebut, korban mengalami tekanan psikologis dan stres, serta mengalami cedera pada pergelangan tangan kiri berupa perenggangan tulang.

Namun, penanganan pihak sekolah dinilai sangat tidak adil. Pihak wali kelas, guru Bimbingan Konseling (BK), maupun kepala sekolah dianggap tidak mengambil langkah tegas dan mengabaikan laporan keluarga korban. Dalam proses mediasi, pelaku bersikap menantang dan terkesan mendapat pembelaan dari guru BK, seolah kebal terhadap aturan.

Lebih jauh, kepala sekolah diduga melakukan intervensi kepada korban dengan menyatakan bahwa bila kasus ini dilaporkan ke pihak berwenang, baik pelaku maupun korban akan dikeluarkan dari sekolah. Tekanan ini dinilai tidak pantas dan dapat menghambat proses penegakan keadilan serta perlindungan terhadap korban.

Dalam proses mediasi, keluarga pelaku hanya menyerahkan uang ganti rugi sebesar Rp2 juta untuk biaya perawatan, yang dititipkan kepada guru kesiswaan. Guru tersebut juga mendampingi korban setiap kontrol ke rumah sakit, namun keluarga korban menganggap langkah sekolah tidak proporsional.

Ibu korban, Ria Yuli, menyatakan kekecewaannya terhadap sikap pihak sekolah.

“Saya tidak terima jika anak saya diperlakukan seperti ini. Apalagi pihak sekolah tidak memberikan keadilan yang seadil-adilnya,” tegas Ria Yuli.

Sementara itu, korban Tri Tasya mengungkapkan harapannya agar pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal, serta menyampaikan bahwa dirinya sempat mengalami intimidasi dari guru setelah kejadian.

“Saya sebenarnya tidak keberatan jika harus dikeluarkan apabila memang saya terbukti bersalah. Namun, yang saya harapkan adalah pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatan yang telah dilakukan kepada saya dan siswa lainnya. Selain itu, setelah kejadian tersebut, saya juga merasa mengalami intimidasi dari guru di dalam kelas,” ungkap Tri Tasya.

Keluarga korban mendesak Dinas Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak, dan aparat penegak hukum untuk mengambil langkah tegas, transparan, dan berkeadilan terhadap kasus ini. Pelaku harus diberikan sanksi sesuai aturan, sementara korban berhak mendapatkan perlindungan, pendampingan psikologis, serta jaminan hak belajar dalam lingkungan yang aman dan nyaman.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa segala bentuk perundungan dan upaya menutupi kejadian oleh pihak sekolah tidak dapat ditoleransi. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, bukan ruang pembiaran terhadap kekerasan.(team)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments

spot_img