23.2 C
Indonesia
Rabu, Desember 3, 2025

Opini : Alam Atau Investasi Bisnis? Melihat Dari Kacamata Penyelesaian Sengketa PT Soedali melawan KLHK

Jawa Timur,Tribunpost.co – Majelis Hakim Mahkamah Agung telah menolak kasasi yang diajukan PT. Soedali Sejahtera dalam putusan Nomor 2802 K/Pdt/2025 pada tanggal 10 September 2025. Putusan kasasi menjadi akhir atas perjalanan panjang upaya PT. Soedali Sejahtera untuk membatalkan ganti kerugian sejumlah Rp48.030.291.929,00 yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sebelumnya diketahui bahwa PT. Soedali Sejahtera yang merupakan industri yang bergerak bidang industri tekstil pertenunan (pemintalan benang), printing dan dyeing yang memproduksi kain grey dan kain printing di Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Pada tanggal 17 Mei 2016 ketika Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pasuruan tengah melakukan pemantauan lapangan terhadap PT. Soedali Sejahtera dalam rangka pengawasan dan pengendalian dampak lingkungan. Ditemukan fakta lapangan adanya dumping limbah B3 berupa fly ash di belakang rumah warga serta adanya dumping limbah B3 berupa fly ash bottom ash dan sludge IPAL di lahan warga tepi jalan desa.
Atas hal tersebut Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pasuruan menerbitkan Keputusan Nomor: 660.3/788/424.078/2016 untuk menerapkan sanksi administratif paksaan Pemerintah agar PT. Soedali Sejahtera menaati 17 (tujuh belas) kewajiban yang tercantum dalam sanksi administratif paksaan pemerintah tersebut. Namun saat dilakukan pengawasan kembali hingga 09 Mei 2017, PT. Soedali Sejahtera belum melaksanakan semua kewajiban yang tercantum dalam sanksi administratif tersebut sehingga menimbulkan dampak pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan tersebut dibuktikan dari Uji laboratorium terhadap air limbah usaha PT. Soedali Sejahtera ditemukan hasil bahwa rata-rata tidak memenuhi (melampaui) Baku Mutu Air Limbah kelas 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran PP 82/2001 sebagaimana telah diganti dengan PP 22/2021. Kemudian atas hal tersebut, KLHK mengajukan gugatan pada 3 Januari 2024. Dalam gugatan tersebut dicantumkan total penghitungan kerugian lingkungan hidup sebesar Rp48.030.291.929,00 yang mana hal ini dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusan Nomor 20/Pdt.G/LH/2024/PN Sby

Atas amar putusan tersebut dilakukan upaya hukum Banding oleh PT. Soedali Sejahtera, yang oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dalam Putusan Nomor 829/Pdt.Sus-LH/2024/PT SBY tanggal 20 November 2024 justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya. Selanjutnya putusan Banding tersebut dilakukan upaya permohonan Kasasi oleh PT. Soedali Sejahtera dan putusannya ialah menolak permohonan kasasi PT. Soedali Sejahtera dalam putusan Nomor 2802 K/Pdt/2025 tanggal 10 September 2025.
Redaksi opini kerap menerima pertanyaan yang sama setiap kali sengketa lingkungan mencuat, apakah hal itu menghambat investasi atau justru menegakkan perlindungan terhadap alam. Perkara PT Soedali Sejahtera kembali memunculkan pertanyaan itu dan mengantar publik pada satu kesimpulan yang makin sukar dibantah: pemulihan lingkungan adalah ukuran kedewasaan pasar dan kenegarawanan pemerintah. Dari sudut konstitusi, arah itu jelas. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD NRI 1945) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sedangkan Pasal 33 ayat (4) menegaskan bahwa perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Artinya, pembangunan ekonomi tidak dapat lagi dilepaskan dari prinsip keadilan ekologis.
Dalam ekosistem bisnis modern, kepatuhan tidak cukup dimaknai sebagai kelengkapan berkas administratif. Norma lingkungan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), menempatkan pelaku usaha pada standar tanggung jawab yang lebih tinggi. Pasal 67 UUPPLH mewajibkan setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah pencemaran atau kerusakan. Pasal 88 UUPPLH bahkan menegaskan adanya tanggung jawab mutlak (strict liability) bagi setiap penanggung jawab usaha yang menggunakan, menghasilkan, atau mengelola bahan berbahaya dan beracun (B3) serta menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan
Pemerintah di sisi lain dituntut untuk tidak hanya hadir ketika kerusakan sudah terjadi. UUPPLH telah menyediakan perangkat hukum yang tegas melalui Pasal 76 hingga Pasal 82, yang mengatur sanksi administratif mulai dari teguran

tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan hingga pencabutan izin lingkungan. Ketentuan ini diperkuat dalam rezim perizinan berusaha berbasis risiko pasca lahirnya UU Cipta Kerja dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP PPLH). Melalui skema tersebut, pengawasan dan penegakan hukum lingkungan diharapkan lebih terintegrasi dan preventif.
Publik pun menuntut penyelesaian sengketa yang berorientasi pada hasil, bukan sekadar angka ganti rugi dalam amar putusan. Pasal 54 UUPPLH menegaskan hak masyarakat untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Partisipasi publik, keterbukaan informasi, dan pemulihan yang terukur menjadi inti dari asas keadilan ekologis yang kini berkembang dalam yurisprudensi. Logika pemulihan menuntut adanya rencana yang jelas, indikator yang dapat diverifikasi, dan pelibatan masyarakat terdampak. Dunia usaha sebaiknya membaca perkara PT Soedali Sejahtera sebagai kompas hukum, bukan kabar buruk. Pilih teknologi produksi yang sesuai dengan Prinsip Best Available Techniques (BAT).
Perkara PT Soedali Sejahtera akhirnya menjadi momen uji bagi tiga hal sekaligus: ketegasan negara dalam menegakkan hukum sesuai amanat UUD 1945 dan UUPPLH, kedewasaan korporasi dalam menaati prinsip strict liability dan due diligence lingkungan, serta kewaspadaan warga dalam menggunakan hak partisipasi dan pengawasan. Jika setiap sengketa diarahkan menuju pemulihan yang nyata sebagaimana dimandatkan oleh UUPPLH tentang penegakan hukum perdata dan administrasi lingkungan, maka peradilan tidak lagi menjadi panggung saling sanggah tanpa akhir, melainkan jembatan menuju tata kelola yang lebih bersih dan ekonomi yang berkelanjutan. Itulah standar baru yang seharusnya bertahan, karena sejalan dengan hukum positif dan semangat konstitusi. (Andi)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments

spot_img